Artikel

Obral Data Pribadi di Saat Pandemi

349
×

Obral Data Pribadi di Saat Pandemi

Sebarkan artikel ini

Zulaikha

Artikel Fikom – Sejak diperkenalkannya media sosial di tahun 2002, orang dengan mudah melakukan koneksi dan relasi kepada publik di seluruh dunia. Ia bisa saja membagikan berita, kabar dan informasi-informasi lain seputar dunianya, lingkungannya bahkan tentang dirinya sendiri. Lalu dikenallah apa yang sekarang disebut selfie atau wefie, yaitu mengirimkan hasil foto tentang dirinya sendiri lengkap dengan captionnya.

Dari mengirimkan foto tentang diri mereka sendiri, kemudian berkembang dengan mengirimkan foto kegiatannya, kesukaannya, hobinya dan kegiatan mereka yang lain. Maka muncullah di akun media sosial mereka foto-foto makanan, tempat, olah raga, hobby, dan apapun yang ingin dibagikannya kepada publik. Foto dan caption itu di bagikan ke akun media sosial mereka dengan berbagai tujuan. Dari tujuan bisnis sampai branding personal atau bahkan hanya sekedar ingin memenuhi targetnya sendiri untuk membagikan konten di media sosialnya pada waktu tertentu, seperti misalnya setiap seminggu sekali, setiap dua hari sekali atau setiap hari.

Beberapa kemudian menyebutnya sebagai bagian dari narsis. Narsis sebetulnya adalah suatu penyakit kejiwaan, yang oleh Sigmun Freud disebut Narcissistic Personality Disorder/NPD atau gangguan kepribadian narsistik. Ada ciri-ciri tertentu pada penderita NPD ini, seperti yang disebutkan dalam buku Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5) (dalam Shabrina, 2018), yaitu : (a) ingin diakui sebagai seseorang yang superior, bahkan tanpa didukung prestasi yang menjamin, (b) melebih-lebihkan bakat dan prestasi, (c) disibukkan oleh fantasi mengenai kesuksesan, kekuasaan, kecerdasan, kesempurnaan fisik atau sebagai pasangan hidup yang sempurna, (d) percaya bahwa dirinya adalah individu yang superior dan hanya dapat dimengerti oleh orang-orang yang berkedudukan sama tinggi atau sama spesialnya, (e) haus akan perhatian dan pujian dari orang lain setiap saat, (f) memanfaatkan orang lain untuk mendapatkan yang diinginkan, tanpa rasa bersalah atau penyesalan, (g) sulit menjalin dan menjaga hubungan yang sehat, dominan dan terkesan mengatur, (h) tidak terima jika dikritik, dan menanggapinya dengan marah, hinaan dan rasa dipecundangi, (i) cemburu dan iri terhadap orang lain yang lebih sukses dari dirinya sekaligus mempercayai bahwa orang lain cemburu terhadap dirinya, (j) selalu berharap orang lain akan setuju dengan dirinya dan sejalan dengan apa yang diinginkan, (k) apapun yang diinginkan atau impikan pasti adalah yang terbaik, (l) tidak mau kalah dengan orang lain, selalu bersikeras untuk memiliki apa yang orang lain punya atau bahkan apa yang orang lain tidak punya, (m) berbicara sombong dan angkuh, (n) tidak sabar atau mudah marah jika tidak mendapatkan perlakuan yang spesial, dan (o) merasa tertekan dan murung karena merasa kurang sempurna.

Sebetulnya selfie atau mengabarkan tentang dirinya sendiri bukanlah penyakit kejiwaan, karena hanya memenuhi sebagian kecil dari ciri-ciri NPD di atas. Selfie masih dianggap wajar, sebagai mahluk sosial yang ingin saling berinteraksi satu sama lainnya. Tetapi perkembangannya kemudian, selfie juga menjadi ajang pamer bagi yang bersangkutan. Ketika ber-selfie orang cenderung untuk membagikan informasi-informasi pribadinya dan cenderung lupa bahwa informasi yang dibagikannya itu bisa mengancam privasinya.

Menurut Cambridge Dictionary, privasi merupakan hak yang dipunyai seseorang untuk menjaga kehidupan personal atau rahasia informasi personal agar hanya untuk diketahui sekelompok kecil saja. Itu berarti data-data pribadi sebetulnya bukan konsumsi publik. Dalam hal data pribadi ini, Indonesia sudah mempunyai Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) yang sudah ditandatangani Presiden Joko Widodo pada Januari 2020 lalu (Widowati, 2020). Dalam draft RUU PDP itu disebutkan, definisi data pribadi adalah setiap data tentang seseorang, baik yang teridentifikasi dan dapat diidentifikasi tersendiri atau dikombinasikan dengan informasi lainnya, secara langsung maupun tidak langsung melalui sistem elektronik maupun non elektronik.

Ada dua jenis data pribadi, yakni data pribadi yang bersifat umum dan data pribadi yang bersifat spesifik. Data pribadi umum meliputi nama lengkap, jenis kelamin, kewarganegaraan, agama dan data pribadi lain yang harus dikombinasikan sehingga memungkinkan untuk mengidentifikasi seseorang. Sedangkan data pribadi spesifik adalah data yang bersifat sensitif terhadap keamanan dan kenyamanan kehidupan pemilik data pribadi itu sendiri seperti data informasi kesehatan, data biometrik, data genetika, data pandangan politik, data pandangan spesifik lainnya dan data keuangan pribadi.

Mengapa data pribadi perlu dilindungi? Di Indonesia, pada tahun 2019, terjadi 1.507 kasus penipuan e-commerce dan perbankan digital, dengan 1.404 kasus penipuan online dan 103 kasus intrusi ke email. Juga terjadi gangguan spam, 28 kali rata-rata telpon per bulan, dan ini termasuk nomor 3 tertinggi di dunia. Juga 46 kali rata-rata SMS per bulan, no 10 tertinggi di dunia. Tahun 2019 di Indonesia juga tercatat ada 8.389 aduan iklan via email tanpa persetujuan serta 5.000 aduan penyalahgunaan data pribadi ke Lembaga Bantuan Hukum (Jayani, 2020).

Selain RUU PDP yang masih digodog tadi, sebetulnya sudah ada perundang-undangan lain yang juga sudah melindungi data pribadi di Indonesia, diantaranya adalah (1) UUD 1945 pasal 28G ayat 1. (2) UU no. 24/2013 pasal 1 angka 22, sebagai perubahan atas UU no. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan. (3) UU no. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. (4) UU no. 19/2016 sebagai perubahan atas UU no. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. (5) Pasal 58 ayat 1 PP no. 40/2019 tentang Administrasi Kependudukan. (6) Permenkominfo no. 20/2016 tentang Perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem Elektronik.

Meskipun sudah banyak perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan data pribadi, tetapi masih banyak masyarakat yang tidak memahaminya dan bahkan dengan sukarela membuka data pribadinya ke publik melalui akun media sosialnya sendiri atau akun media sosial orang lain. Salah satu contohnya adalah fenomena memperlihatkan saldo ATM miliknya yang marak dilakukan selebritis beberapa waktu lalu. Lepas dari benar tidaknya saldo yang diperlihatkan (ada kemungkinan jumlah saldo yang diperlihatkan hanya setingan belaka dengan tujuan untuk mendongkrak popularitas), tetapi tindakan itu tidak bisa dibenarkan secara hukum dan berdampak negatif terhadap citra selebriti tersebut di masyarakat. Kesan pamer sangat kental terasa. Itu hanya salah satu contoh.

Pandemi dan Dibukanya Data Pribadi Pasien Covid-19

Telah disebutkan diatas bahwa yang termasuk data pribadi salah satunya adalah data tentang kesehatan atau data medik. Kerahasiaan data medik ini telah diatur juga oleh perundang-undangan diantaranya pasal 57 UU no.36/2009 tentang Kesehatan. Dalam kajian hukum kesehatan, rahasia medik pasien adalah serangkaian informasi tentang (a) informasi yang disampaikan pasien pada dokter atau rumah sakit tentang hal-hal yang terkait dengan apa yang dirasakan dan dideritanya sebagai penyakit, (b) Hasil pemeriksaan atau hasil temuan serta seluruh rangkaian tata laksana penyakit yang diderita seseorang termasuk rejim pengobatannya, (c) Prognosa atau perkiraan masa depan penyakit dan kemungkinan resiko kesehatan pasien ke depan, dan (d) identitas pasien bila penyakit ini mendatangkan resiko stigmastisasi dan diskriminasi dalam kehidupan panjang ke depan (Nasser, 2020).

Bagaimana dengan dibukanya informasi mengenai penderita covid-19 yang sudah ditetapkan WHO sebagai pandemi ini? Ada berbagai tanggapan mengenai hal ini, yang secara global bisa dikategorikan menjadi dua yakni setuju dan tidak setuju. Sepanjang pengamatan penulis, pemerintah hanya membuka identitas pasien yang menjadi pejabat publik. Pertama kali pemerintah menginformasikan terpaparnya Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi pada 14 Maret 2020. Setelah itu beberapa pemerintah daerah yang kebetulan pejabat publiknya terpapar, membuka informasinya dengan suka rela. Tetapi pemerintah tidak pernah membuka informasi mengenai identitas penderita covid-19 ke publik selain pejabat publik tadi. Informasi yang dibuka adalah informasi mengenai data berapa jumlah penderita (Orang Dalam Pengawasan/ODP dan Pasien Dalam Pengawasan/PDP), serta wilayah mana saja yang sudah terpapar dan berapa jumlah ODP/PDP di daerah tersebut. Aplikasi-aplikasi yang beredar pun juga hanya menunjukkan data angka dan bukan identitas.

Menariknya, banyak pasien covid-19 yang membuka informasi tentang penyakit yang di deritanya itu ke publik, baik melalui akun media sosialnya atau menyebarluaskannya lewat media online yang mewawancarainya. Yang memilih untuk membuka lewat akun media sosialnya diantaranya adalah artis Andrea Dian. Lewat akun suaminya yang presenter tv serta lewat akun pribadinya, Andrea Dian menceritakan bagaimana ia menjalani masa isolasinya. Tidak hanya artis, dari kalangan masyarakat biasa pun ada yang menceritakan secara detail bagaimana dia menjalani masa isolasinya lengkap dengan deskripsi suasana rumah sakit dan pasien lainnya yang menjadi teman isolasinya. Adalah akun facebook bernama Nina Susilowati yang awalnya hanya menulis untuk grup tertutup di facebook. Tetapi perkembangan selanjutnya, tulisan itu menyebar dan menjadi viral, dibaca oleh lebih dari seribu orang dalam tempo dua hari saja.

Media online pun juga menyebarluaskan informasi tentang identitas pasien covid-19 ini dengan sangat terbuka. Hasil pengamatan penulis, sebagian dari media online itu terlihat dalam tabel berikut:

Channel

Acara

Judul Episode

Tanggal posting

Frekuensi ditonton*

CNN Indonesia

Berita

Cerita Pasien yang Sembuh dari Corona

27 Maret 2020

2,1 juta kali

Menjadi Manusia

Interview

Pasien Covid-19 Bikin Surat Terbuka Untuk Presiden, Ada Apa? Apa Kabar Pasien Corona?

3 April 2020

76 ribu kali

Merdeka.com

Featurette

Kisah Pasien Sembuh dari Covid-19

8 April 2020

8.318 kali

Narasi People

Narasi Stories

Cerita Pandemi : Sembuh Dari Corona Butuh Perjuangan Bersama (Full Version)

18 April 2020

118.995 kali

Narasi People

Narasi Stories

Cerita Pandemi : Hal Yang Paling Dirindukan Pasien Covid-19

23 april 2020

660 kali

*per tanggal 26 April 2020 jam 11.20 WIB

Persetujuan diberikan untuk membuka informasi mengenai data penderita covid-19 mengingat virus ini sudah menjadi pandemi dan informasi yang disampaikan akan mempengaruhi kepentingan dan hajat hidup masyarakat banyak. Bahkan pasal 57 UU Kesehatan pun juga menyebutkan bahwa ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan pribadi itu tidak berlaku dalam hal kepentingan masyarakat. Covid-19 seharusnya juga bukan termasuk penyakit yang menyebabkan diskriminasi atau stigmatisasi. Diskriminasi dan stigma biasanya diberikan kepada penderita penyakit yang diakibatkan oleh perilaku menyimpang penderitanya. Model penularan covid-19 yang melalui droplet infection memberi kemungkinan semua orang bisa tertular sehingga bukan menjadi penyakit yang memalukan dan karenanya penderitanya tidak perlu diberi stigma.

Tetapi tentu butuh sosialisasi kepada masyarakat agar masyarakat tidak menjatuhkan stigma kepada penderita, baik yang sudah sembuh maupun masih dalam perawatan. Kenyataan menunjukkan adanya penolakan masyarakat bahkan kepada pemakaman jenazah yang meninggal akibat covid-19.

Ini juga yang seharusnya dipikirkan oleh media online ketika memutuskan untuk membuka identitas pasien covid-19. Karena ketika media online membuka identitas pasien, media itu harus bertanggungjawab atas informasi tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam Permenkominfo no. 20/2016 tentang Perlindungan Data Pribadi, bahwa setiap penyelenggarasistem elektronik harus menyusun aturan internal perlindungan data pribadi sebagai bentuk tindakan pencegahan untuk menghindari terjadinya kegagalan dalam perlindungan data pribadi yang dikelolanya. Permen itu juga menyebutkan bahwa pemilik informasi pribadi berhak meminta pemusnahan data perseorangan tertentu miliknya dalam sistem elektronik.

Terlepas dari semua aturan itu, sepertinya masyarakat sudah menganggap bahwa membuka informasi pribadi sudah menjadi kebutuhan, termasuk membuka informasi tentang penyakit yang dideritanya. Membuka informasi medik dianggap bagian dari selfie. Kemungkinan mereka yang dengan sadar membuka informasi tentang dirinya sendiri itu juga tidak merasa bahwa informasi mediknya, jika disebarluaskan, akan menganggu privasinya. Pandemi telah membuat orang ingin berbagi tentang penyakit dan rasa sakit yang dideritanya. Melihat fenomena itu, di masa mendatang, definisi dan kriteria informasi pribadi dan privasi mungkin perlu dikaji ulang.

*tulisan ini dimuat di buku “Komunikasi Empati Dalam Pandemi Covid-19”, Aspikom Jatim, Mei 2020.

 

Tinggalkan Balasan

Translate »