Zulaikha*
ARTIKEL FIKOM – Kebo nyusu gudel adalah pepatah dalam bahasa Jawa yang secara harfiah berarti kerbau yang menyusu (meminum air susu/nenen) dari anaknya. Pepatah ini berarti orang tua yang belajar dari orang yang lebih muda atau dari anaknya. Makna peribahasa ini bisa positif, bisa juga negatif, tergantung dari sudut pandang mana orang memaknainya. Dan ini tidak terlepas dari pemaknaan kedudukan orang tua dalam budaya Jawa itu sendiri.
Orang tua disini bukan hanya bapak dan ibu, tetapi juga kakek nenek, paman bibi, dan orang-orang yang dituakan seperti guru, kyai, kakak, dan seterusnya. Orang tua dalam budaya Jawa mempunyai kedudukan yang ditinggikan, baik secara hirarkies (karena usianya lebih tua atau lahir terlebih dahulu) maupun secara psikologis (harus dihormati). Secara psikologis, budaya Jawa memegang teguh dua prinsip penting yakni tata krama, yakni hormat dan kerukunan. Sikap hormat merupakan unsur psikologis dalam menciptakan unggah-ungguh sosial. Sikap hormat itu sendiri masih terbagi lagi menjadi wedi (takut), isin (malu) dan sungkan. Sejak kecil, sikap hormat itu selalu diajarkan dalam budaya Jawa baik di lingkungan keluarga maupun lingkungan sosialnya. Dan ini di wariskan dari generasi ke generasi, sebagai warisan nilai kesopanan dan tata krama di masyarakat Jawa.
Maka, dengan alasan menghormati itu pulalah kemudian berkembang sikap sungkan ketika harus membantah apa kata orang tua, meski ucapan si orang tua dianggap tidak benar atau tidak bisa diterima nalarnya. Alasan yang sama juga dipakai untuk tidak memberikan informasi tentang kebenaran dan perkembangan pengetahuan, dan cukup menjadi pendengar saja bagi orang tua yang sedang berbicara. Menghormati kepada orang tua juga berarti tidak membantah kata-kata dan perintahnya, karena selain tidak sopan, juga akan melahirkan label baru pada si anak, yakni durhaka.
Itu sebabnya, pada budaya Jawa hampir tidak ada bahasan mengenai bagaimana orangtua mendengarkan kata-kata anak atau bahkan belajar sesuatu dari anaknya. Selain karena tidak mengenal nilai “belajar kepada siapa saja yang lebih mumpuni, meski usia lebih muda”, itu juga bagian dari mempertahankan statusquo si orang tua. Si orang tua bisa kehilangan harga diri dan kehormatannya jika kelihatan bahwa dia tidak lebih pandai dari si anak. Nilai-nilai ini memang memperjelas budaya feodal yang ada di Jawa.
Tetapi, jaman terus berkembang. Nilai-nilai budaya akan saling terkontaminasi akibat interaksi masyarakat. Terlebih dengan adanya teknologi informasi, dimana masyarakat dunia saling terkoneksi satu sama lain dan membentuk global village. Pertukaran nilai kebudayaan mempengaruhi sistem nilai suatu budaya. Budaya populer yang terjadi akibat penetrasi media semakin berkembang dan mendominasi sistem nilai terutama di kalangan anak muda.
Sesuai jamannya, anak-anak generasi milenial dan generasi Z jadi lebih mudah menguasai teknologi informasi. Generasi yang lebih tua jadi ketinggalan di bidang penguasaan teknologi informasi ini. Ibarat kata, bayi-bayi sekarang seperti ditakdirkan langsung bisa paham operasional gadget dari pada ibu bapaknya. Entah kenapa, orang-orang dari generasi sebelumnya juga tergagap-gagap dengan teknologi.
Hal itu belum begitu terasa, sebetulnya, sampai pandemi menyerang di awal tahun 2020. Masyarakat harus menghadapi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Gerakan untuk melakukan phisical distancing, social distancing, stay at home dan work from home mulai gencar dilakukan masyarakat. Pembatasan interaksi secara langsung memaksa orang untuk terkoneksi dengan dunia luarnya melalui media. Orang-orang yang tadinya gagap teknologi akibat malas belajar dan alasan lainnya dipaksa untuk harus menggunakan teknologi informasi. Keterpaksaan yang luar biasa, karena melanda seluruh lapisan masyarakat. Hampir semua aspek kehidupan, kemudian, menggunakan teknologi informasi ini sebagai cara untuk bertahan hidup.
Maka, pada masa pandemi ini, gampang ditemui orang-orang tua yang minta diajari anaknya untuk mengoperasikan gadget lebih dari sekedar dipakai untuk telpon dan kirim pesan. Orang-orang tua mulai harus meng-explore berbagai aplikasi, mengunduhnya dan memakainya dalam kehidupan sehari-hari. Demikian juga berbagai aplikasi dan fasilitas yang ada di laptop atau personal computer mereka. Awal-awal pandemi di bulan Februari dan Maret 2020 adalah awal-awal ‘keributan’ di tataran personal akibat keterpaksaan menggunakan teknologi informasi ini. Semua orang, tanpa memandang jenis kelamin, usia, dan pekerjaan harus bisa menggunakan teknologi informasi agar tetap bisa terkoneksi dengan kolega dan mengerjakan tugas/pekerjaannya.
Gegap gempita pemakaian teknologi informasi memenuhi semua ruang baik publik maupun privat. Bagi tenaga pendidik, baik guru maupun dosen, menggunakan teknologi adalah sebuah keniscayaan. Bagi para pengusaha UKM, berjualan via online menjadi satu-satunya alternatif yang bisa dilakukan. Bagi pengusaha kuliner seperti cafe dan rumah makan, karena tidak boleh makan di tempat, maka aplikasi di ojek online mendadak menjadi sahabat yang harus diperhitungkan keberadaannya. Revolusi pemakaian teknologi informasi juga merambah ke ruang privat. Untuk membunuh bosan akibat selalu di rumah saja, orang mulai mengutak-atik gadgetnya dan mencari hiburan dari sana. Maka video-video dari aplikasi TikTok mendadak digemari tidak saja anak muda, tapi juga para orang tua. Menonton drama korea, menonton Youtube, Netflix, aktif di berbagai platform media sosial, membaca komik, semua dilakukan lewat gadget mereka. Dengan begitu, meski di rumah saja, orang tetap terkoneksi ke seluruh dunia. Dunia berada dalam genggaman mereka.
Bagi generasi milenial dan generasi Z, mengaplikasikan teknologi informasi itu hal yang mudah. Tapi bagi generasi sebelumnya, termasuk generasi baby boomers seperti saya, mengaplikasikan penggunaan teknologi informasi dalam kehidupan sehari-hari bisa juga diartikan sebagai tantangan dan mengusik kenyamanan. Yang biasanya urusan teknologi selalu main perintah ke anak buah (yang notabene usianya lebih muda), kini mau tidak mau harus melaksanakannya sendiri. Yang biasanya minta tolong ke anak, sekarang harus juga melakukan sendiri karena memang kebutuhan pribadi. Alhasil perintah dan permintaan tolong itu bergeser menjadi kalimat “ajari saya dong…”
Sepertinya mudah, tetapi tidak semua orang bisa melakukannya. Rasa malas untuk mempelajari sesuatu yang baru, tidak mau keluar dari zona nyaman, gengsi, mempertahankan status quo sebagai orang tua atau orang yang dituakan dan sisa-sisa mental feodal menjadi alasan mengapa orang tidak mudah meminta tolong untuk diajari oleh anaknya atau anak buahnya. Selain itu, mindset manual yang telah mendarah daging juga kendala orang untuk berubah ber-mindset digital.
Nyatanya, kita memang harus menyadari dan menerima kenyataan bahwa pepatah kebo nyusu gudel itu memang benar telah terjadi. Tidak di jaman dulu, tetapi di jaman yang katanya modern ini. Kebo nyusu gudel justru terjadi untuk urusan teknologi informasi, mungkin bisa disebut dengan kebo nyusu gudel 4.0.
Sudah Selayaknya orang tua berbangga karena telah melahirkan generasi milenial dan generasi Z. Mereka tidak kenal dengan pepatah kebo nyusu gudel, karena itu mereka juga tidak akan merasa menjadi gudel yang nyusoni kebo. Semua berjalan apa adanya dan seharusnya. Jaman memang berubah. Kita hanya perlu beradaptasi dengan cepat, agar bisa mengikuti perubahan itu.
*tulisan ini dimuat dalam buku “Merdeka Berpikir, Catatan Harian Pandemi Covid-19”, Unitomo Press, Surabaya, Agustus 2020