Surabaya, Fikom Internasional – Dunia dikejutkan dengan jatuhnya rezim Bashar al-Assad di Suriah setelah 24 tahun memimpin pada 8 Desember 2024. Dengan Assad dikabarkan melarikan diri, kelompok pemberontak Suriah mengklaim telah menguasai negara tersebut sepenuhnya. Selain itu, kejatuhan ini menyebabkan berbagai reaksi dari negara-negara di seluruh dunia dan regional.
Situasi ini menandai awal perang saudara selama lebih dari sepuluh tahun. Laporan menunjukkan bahwa pasukan pemberontak, dengan dukungan dari berbagai faksi oposisi, berhasil mengambil alih ibu kota Damaskus. “Ini adalah kemenangan untuk rakyat Suriah,” kata salah satu akun kelompok oposisi di media sosial yang merayakan kemenangan. Seorang warganet menulis, “Akhirnya, kami melihat tirani Assad tumbang. Namun, tantangan baru akan segera datang.”
Sementara beberapa negara Eropa mengkhawatirkan peningkatan radikalisasi di Suriah, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan bahwa kondisi saat ini akan menciptakan “realitas baru” untuk negara tersebut. Dilaporkan bahwa Israel, yang terlibat secara tidak langsung dalam konflik Suriah, memanfaatkan situasi ini untuk memperkuat kekuatan militernya di wilayah perbatasan.
Sebaliknya, Rusia dan Iran, yang selama ini mendukung Assad, dikabarkan sedang mengevakuasi tentara mereka dari Suriah. Kejatuhan Assad menimbulkan pertanyaan tentang stabilitas regional serta nasib pengungsi dan kelompok minoritas Suriah.
Jatuhnya rezim ini menandai akhir dari kekuasaan yang dikenal dengan banyak pelanggaran HAM. Rezim Assad bertanggung jawab atas penggunaan senjata kimia dan ribuan kematian warga sipil selama konflik, menurut Amnesty International. Sekarang, masyarakat internasional mengharapkan jalan baru bagi Suriah dan penduduknya yang telah menderita selama bertahun-tahun akibat perang.