Surabaya, Fikom unitomo News – Di bawah langit Halmahera yang biru berkilauan, dengan angin yang membawa wangi lautan dan debur ombak yang tak henti-hentinya membisikkan kisah alam, seorang perempuan muda menorehkan jejak langkahnya. Zakeia Ayra–yang kerap disapa Keia–, dengan senyum yang tak pernah lekang, berjalan di jalan setapak tanah merah yang sunyi, menuju tempat yang tak banyak orang tahu—sebuah desa kecil di pelosok Halmahera. Bukan kemewahan atau gemerlap kota yang ia tuju, melainkan panggilan hati yang membawa Keia mengabdi sebagai sukarelawan di salah satu sudut paling terpencil di Indonesia. Ia melakukan pengabdian bersama 33 delegasi lainnya melalui acara Sekebun Aksi 5 pada Sabtu (22/7) sampai Jumat (28/7). Pengabdian bertempat di Desa Sasur, Halmahera Barat.
Sekebun aksi adalah Non-Governmental Organization (NGO) yang memberikan wadah aksi nyata bagi pemuda-pemudi Indonesia untuk mencari solusi serta menyelesaikan permasalahan sosial yang ada di daerah pelosok Indonesia.
“Semua ini bermula pada bulan 3, saat aku si mahasiswa kupu kupu ini ingin kembali produktif. kekosongan karena sakit hati, membuat ku merasa tidak berguna. Aku yang hanya bermodalkan nekat ini langsung mendaftar saja tanpa berfikir panjang. tak ku sangka, aku berhasil lolos di semua tahap seleksinya,” ujar Keia semangat menceritakan pengalamannya.
Keia tergabung dalam divisi Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf), salah satu dari empat divisi yang dibentuk selama pengabdian berlangsung. Setiap divisi memiliki tugas mulia untuk memajukan berbagai aspek kehidupan di desa tersebut—Pendidikan, Kebudayaan dan Adat Lokal, serta Lingkungan Sosial turut menyokong langkah mereka. Namun, Parekraf membawa misi unik, mengkolaborasikan kekayaan alam dengan teknologi digital untuk membangun ekonomi kreatif yang lebih baik.
“Di divisi Parekraf, kami merancang program untuk memajukan pariwisata dan ekonomi di sini,” tutur Keia, mahasiswa Ilmu Komunikasi yang telah meninggalkan kenyamanan kotanya untuk mengabdi.
“Kami mengadakan pelatihan untuk pemuda desa menjadi pemandu wisata, membuat video dokumenter tentang keindahan desa, dan mengajarkan digital marketing agar hasil kerajinan serta panen bisa menjangkau seluruh Indonesia,” lanjutnya dengan semangat yang tak bisa disembunyikan.
Di tengah hamparan hijau Sasur, ia dan timnya memberikan edukasi para pemuda setempat tentang teknologi yang akan membantu mereka memperkenalkan desanya ke mata dunia.
Namun, program pengabdian ini bukan sekadar soal pelatihan dan teknologi. Di setiap langkah yang diambil, ada upaya mendalam untuk mendekatkan hati antara pendatang dan penduduk lokal. Meski terhalang oleh perbedaan budaya dan bahasa, Keia tetap merasa hangatnya sambutan dari warga desa yang begitu antusias. Saat delegasi tiba, warga menggelar tarian adat yang penuh keindahan, menyuguhkan makanan tradisional, dan menciptakan suasana yang penuh rasa kekeluargaan. Kehangatan yang terpancar dari acara sambutan itu menjadi jembatan yang mempertemukan dua dunia—warga Sasur yang sederhana dan para sukarelawan dari berbagai penjuru Indonesia.
Keia mengalami sedikit culture shock saat pertama kali tiba. Ia harus beradaptasi dengan ritme waktu yang berbeda, adat istiadat yang begitu asing baginya, dan bahasa yang sulit dipahami. “Perbedaan bahasa menjadi tantangan terbesar,” ucapnya lirih.
Banyak warga yang tidak begitu fasih berbahasa Indonesia, sementara ia sendiri tak akrab dengan bahasa daerah Sasur. Tantangan ini bukan hanya dirasakan oleh Keia, tetapi juga Yoga Tri, sang Project Leader, yang berasal dari Medan. “Kami harus mengulang-ulang apa yang ingin disampaikan, tapi semua itu bagian dari proses. Kami belajar saling memahami,” kata Yoga dengan senyum sabar.
Pilihan untuk menjadikan Desa Sasur sebagai lokasi pengabdian bukan tanpa alasan. Menurut Yoga, Sasur memiliki kekayaan alam yang melimpah, namun sayangnya belum terkelola dengan baik. “Potensi sumber daya alam di sini sangat luar biasa, tapi masih terbatas karena kurangnya pemahaman tentang teknologi,” jelasnya saat diwawancarai melalui WhatsApp. Oleh sebab itu, tim pengabdian berharap kehadiran mereka bisa membawa wawasan baru bagi warga desa, agar potensi yang selama ini tersembunyi bisa tergali dan berkembang.