Artikel

Televisi Digital dan Momentum Kreator Konten

427
×

Televisi Digital dan Momentum Kreator Konten

Sebarkan artikel ini

Oleh : Harliantara *)

Artikel Fikom – Perpindahan televisi nasional dari sistem penyiaran analog ke sistem digital bisa menumbuhkan industri konten lokal. Dalam ter mi nologi Stan dar Program Siar an (SPS), konten lokal merupakan siaran dengan muatan lokal yang mencakup program siaran jurnalistik, program siaran faktual dan non faktual dalam rangka pengembangan potensi daerah se tempat serta dikerjakan dan di produksi oleh sumber daya manusia (SDM) dan lembaga penyiaran setempat.

Perpindahan televisi ke sistem digital membutuhkan SDM berupa kreator konten yang kredibel dan produktif.

Urgensi lokalitas terhadap konten siaran diletakkan atas lima perspektif. Pertama, konten lokal sebagai amanah regulasi yang wajib ditunaikan. Kedua, konten lokal adalah gambaran riil masyarakat di daerah. Ketiga, konten lokal berorintasi pada pengembangan poten si daerah. Keempat, konten local meneguhkan partisipasi kolektif, dan kelima, konten lokal mewujudkan pemberdayaan SDM dan ekonomi lokal.

Televisi digital dan creator konten idealnya seperti dua pasang kaki kuda yang saling memacu ke arah tujuan. Di versifikasi konten harusnya memunculkan konten-konten edukatif, kreatif, dan variatif. Hal itu sangat bermanfaat bagi kelompok masyarakat yang memiliki keterbatasan akses tontonan atau televisi menjadi satu-satunya akses tontonan.

Hal itu tidak hanya dari rumah produksi, akan tetapi mencakup pembuat konten hingga SDM terampil penopang industri penyiaran. Migrasi televise digital merupakan momentum emas bagi para kreator konten untuk berkreasi dan berinovasi memproduksi karya ter baik nya.

Model bisnis penye lenggaraan televisi digital saat ini memiliki beberapa aspek krusial sehingga perlu diatur lebih detail terutama dalam aspek advertiser, infrastruktur bersama, service yang diberikan serta valuasi konten.

Model bisnis penyelenggaraan televisi digital ke depan berbasis share revenue di mana penyelenggara multiplexer hanya berperan sebagai content aggregator yang menjadi jembatan antara content operator, advertiser dengan network operator.

Adapun beberapa layanan kedepannya yang juga dapat disediakan oleh operator multipleks antara lain: Pertama, konten audio dan video, seperti konten untuk berita, olahraga, bisnis, pendidikan, pemerintahan dan lain sebagainya. Kedua, content on demand. Ketiga, aplikasi middleware, yaitu aplikasi TV interaktif yang dapat melibatkan pengguna dalam dua arah seperti kuis, polling, ratingTV, informasi siaran (EPG), dan sebagainya. Keempat, informasi publik seperti informasi kebencanaan, lalulintas, cuaca dan lainnya.

Presiden Joko Widodo meng instruksikan kementerian terkait untuk mempercepat transformasi digital dengan mengutamakan SDM. Utamanya SDM yang terkait dengan produksi konten televisi digital.

Instruksi Presiden di tindak lanjuti Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek)dengan menyelenggarakan pelajaran atau mata kuliah startup digital. Untuk itu Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) juga membantu menyediakan modul berstandar nasional serta narasumber nasional dalam pendidikan dan pelatihan (diklat) startup digital.

Anggaran Kemenkominfo dari APBN maupun dari sumber Universal Services Obligation (USO) yang dipungut dari perusahaan telekomunikasi perlu difokuskan untuk transformasi digital segenap masyarakat.

Menurut Direksi BAKTI, rata-rata, setiap tahun, pihaknya mengelola dana USO untuk pembangunan infrastruktur telekomunikasi sekitar Rp. 2,5 triliun. Jumlah itu merupakan dana yang sangat besar untuk transformasi digital seluruh lapisan masyarakat.

Kebutuhan masyarakat Indonesia untuk frekuensi hingga saat ini sangat besar terlebih untuk teknologi 5G dan pengembangannya. Apabila migrasi TV analog ke digital terjadi efisiensi baik dari aspek penggunaan frekuensi maupun dari aspek biaya operasional stasiun televisi.

Pembahasan mengenai penerapan siaran televisi digital atau migrasi dari televisi analog sebenarnya sudah ada sejak tahun 2009.

Penerapan itu terkendala beberapa faktor, antara lain Indonesia belum memiliki Infrastruktur yang memadai untuk teknologi televisi digital. Selain itu kuantitas spektrum penyiaran sebagai sumber daya alam terbatas yang berbanding terbalik dengan kuantitas permintaan pihak-pihak yang ingin melaksanakan penyiaran di luar jumlah lembaga penyiaran yang ada.

Selama ini penggunaan infrastruktur penyiaran televise analog juga dinilai tidak efisien karena masing masing lembaga penyiaran mesti membangun infrastruktur penyiaran sendiri. Akibatnya biaya pemliharaan infrastruktur relative mahal, penggunaan daya listrik dan ruang gedung menjadi besar.

Pada sisi penerimaan siaran, kualitas siaran analog pun tidak merata meskipun berada dalam wilayah yang sama. Perlu lembaga khusus yang menangani Infrastruktur teknologi televisi digital. Hanya butuh satu menara yang akan berjaringan dengan infrastruktur transmisi lain nya secara berantai ke daerah yang kondisinya blank spot.

Dari aspek ekonomi, stasiun televisi digital akan lebih efisien. Mereka tidak perlu investasi tower atau transmisi nantinya cukup menyewa frekuensi dan memiliki izin siaran.

Hal tersebut mendorong industri kreatif, karena rumah produksi kecil saja bisa menjadi stasiun televisi. Sesuai dengan peraturan pemerintah terkait penyelenggara siaran televise digital yang free to air alias tidak berbayar.

Stasiun televisi digital lebih mudah eksis di semua distribusi platform, baik siaran satelit televisi kabel, layanan Over the Top (OTT), streaming, dan media sosial. Lokalisasi program siaran mesti menggambarkan sisi kepribadian bangsa dan keragaman budaya. Kini SDM ekonomi kreatif bidang konten penyiaran menjadi soft power dalam mengembangkan nilai-nilai seni budaya bangsa dan menghasilkan nilai tambah ekonomi secara signifikan.


*) Dekan Fikom Unitomo Surabaya, praktisi penyiaran.

Tulisan ini telah terbit di Koran Sindo pada hari Rabu, 18 Mei 2022.

Tinggalkan Balasan

Translate »