Zulaikha*
ARTIKEL FIKOM – Sebut saja namanya Dahlia, lulusan perguruan tinggi ternama, punya bakat menulis dan melukis, berparas cantik dan menarik. Kemampuan komunikasinya di atas rata-rata. Belum sempat wisuda pun, dia sudah diterima kerja di ibukota. Tapi justru itulah titik balik kehidupannya. Ketidaksiapan mental memasuki dunia kerja membuatnya merasa minder luar biasa. Ditambah lagi perasaan bahwa dia orang daerah, orang udik yang mencoba mencari peruntungan di ibukota, membuat perasaan minder itu merajalela.
Mindernya, ketidakpercayaan dirinya membuatnya selalu merasa kecil dan selalu sungkan ketika dia harus menyatakan pendapat, usulannya atau ide kreatifnya. Rasa sungkannya bahkan mengalahkan semua logika yang dia punya. Akibatnya? Bisa ditebak, kinerjanya anjlok. Mentalnya kena. Dan hanya tangisan pelipur lara yang dia punya.
Dahlia hanya contoh kasus rasa sungkan yang dirasa merajalela. Sungkan tidak hanya melanda kaum muda, sungkan banyak juga dirasakan oleh orang-orang tua. Sungkan tidak pandang usia, karena rasa minder juga tidak ada batasnya.
Sungkan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai (1) malas mengerjakan sesuatu, (2) merasa tidak enak hati, dan (3) menaruh hormat atau segan. Pendapat lain mengatakan bahwa sungkan adalah serapan kata dari bahasa Jawa yang tidak memiliki padanan kata yang pas dalam bahasa Indonesia. Beberapa kata yang dirasa mirip dan sedikit memiliki kesamaan dengan kata sungkan yaitu malu, segan, enggan dan hormat. Tetapi diantara kata tersebut tidak ada kata yang tepat dalam menemukan makna dasar dari sungkan.
Sungkan adalah emosi yang khas dari budaya Jawa (Faizal Ramadhan, 2015), yang dimaknai sebagai ‘ewuh pakewuh’. Dalam berbagai hal, sungkan merupakan salah satu bentuk emosi yang berbeda dan tidak sama dengan budaya lain yang terdiri dari berbagai rasa yang hanya dimiliki oleh orang Jawa. Sungkan lebih banyak dipakai sebagai alasan orang melakukan berbagai hal, atau tidak mau melakukan sesuatu.
Jika sungkan diartikan sebagai malas, bisa dipastikan bahwa rasa sungkan hanya dipakai sebagai alasan untuk tidak melakukan sesuatu. Itulah kata yang dirasa paling soft untuk memperlihatkan kemalasannya. Jika sungkan diartikan sebagai rasa tidak enak hati, maka harus dicari asal muasal dan sumber ketidak-enakan hati ini. Apakah bersumber dari rasa takut salah, takut malu, atau siapa tau justru berasal dari jatuh cinta diam-diam. Sumber itulah yang harus dicari terlebih dahulu dan harus diselesaikan dengan solusi yang tepat.
Tapi jika sungkan berarti segan atau rasa hormat, ini juga harus dipertanyakan. Manifestasi rasa hormat bukan berarti tidak berani mengungkapkan sesuatu. Dengan kata lain, ketika kita tidak berani mengatakan sesuatu kepada seseorang, tidak serta merta kita dinilai bahwa kita menghormati orang tersebut.
Budaya sungkan atau ewuh pakewuh mengalami degradasi seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi. Dengan teknologi, komunikasi menjadi lebih cair karena memungkinkan komunikasi interpersonal terjadi tanpa tatap muka. Pertanyaannya, masihkah sungkan relevan diterapkan di jaman teknologi komunikasi seperti sekarang ini?
Ini pertanyaan yang harus dijawab sendiri oleh orang-orang yang sering merasa sungkan. Kalau anda tidak bisa menjawab asal muasal sumber rasa sungkan, dan sungkan masih tetap menjadi kendala komunikasi anda, mungkin ada baiknya anda ke psikolog atau psikiater. Kendala komunikasi anda perlu ditangani segera.
Surabaya, 25 Januari 2022
Kereeen bgt